Senin, 20 April 2009

Kartini Padang dan Pembauran

Ibu Raden Ajeng Kartini tentu bukan dari Padang. Saya justru ingin mengemukakan fenomena tentang Minang Perantauan.

Kini banyak desa-desa di Minang yang asri dan tampak berkecukupan, tetapi sepi hanya ditinggali oleh Orang-orang Tua dan beberapa Gadis. Tak banyak terlihat Pemuda di sana.
Pemuda Minang terkenal sebagai Perantau dan mereka hanya pulang (jika ada duit) pada saat menjelang Lebaran. Banyak dari Pemuda Perantau Minang tersebut yang pada akhirnya menetap di Perantauan dan memperistri warga setempat (non-Minang).
Mengapa mereka memperistri warga setempat, mungkin karena Cinta Lokasi (Cinlok), tetapi saya menduganya karena tinggal di perantauan lebih nyaman. Jika mereka kembali ke Minang dan memperistri gadis Minang, maka adat istiadat seperti Matrilineal atau Matriachat akan diberlakukan.
Hal yang sama terjadi pada perantauan gadis Jepang yang studi di Amerika Serikat. Banyak dari mereka menikah dengan warga non-Jepang dan akhirnya menetap di luar Jepang. Mereka tidak membawa suaminya ke Jepang, karena Jepang enggan dengan Kawin Campur dan UU tidak mendukungnya. Tidak lebih dari 10000 Kawin Campur/Tahun terjadi di Jepang.

Kecuali di Minang maka di tempat lain di Indonesia menganut Patrilineal atau Patriachat.
Perempuan di Indonesia boleh dikatakan setara dengan kaum pria setidak-tidaknya di mata hukum dan telah berlangsung sejak lama setidak-tidaknya sejak ada Ibu Kartini.
Pemilu kita yang pertama pada tahun 1955 telah menyertakan Perempuan sebagai pemilih. Sedangkan di Amerika Serikat (US) bahkan setelah puluhan kali Pemilu, perempuan masih belum dapat memilih.
Di Jepang adat istiadatnya menganggap perempuan itu warga kelas dua, bahkan banyak istri yang ketika pergi bersama suaminya jalan di belakang suaminya.

Indonesia juga lebih baik dalam hal Pembauran dimana walaupun belum disukai, tetapi setidak-tidaknya penentangan itu adalah penentangan yang saya nilai ringan (mild).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar